Dalam bacaan lafadz ini juga terdapat persaksian yang agung yaitu kalimat tauhid : لا اله الا الله dan persaksian bahwa Nabi Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya. Kalimat persaksian ini (syahadat) adalah rukun pertama dan utama dalam Islam yang seseorang tidak bisa disebut sebagai Muslim jika ia tidak mengucapkan dan melaksanakan konsekuensi ucapan tersebut.
Karena demikian pentingnya makna syahadat ini, maka penulis merasa perlu untuk menjabarkannya sesuai dengan penjelasan para ‘Ulama’. Kalimat : لا اله الا الله sering diterjemahkan sebagai : “ Tidak ada Tuhan selain Allah ”.
Hal ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman bagi kaum muslimin. Sesungguhnya terjemahan yang lebih tepat adalah :
“ Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah “, sebagaimana penjelasan semacam ini didapatkan dalam kitab-kitab tafsir yang merujuk pada penjelasan para Sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas dan yang lainnya.
Orang-orang musyrikin Quraisy yang dihadapi oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam pun meyakini bahwa Tuhan satu-satunya adalah Allah.
Mereka meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allahlah satu-satunya Pencipta, satu-satunya yang Menghidupkan dan Mematikan mereka, satu-satunya Penguasa dan Pengatur Alam semesta, satusatunya Yang Mampu Memberikan rezeki atau menghalangi tersampaikannya rezeki bagi mereka. Hal ini sesuai dengan firman –firman Allah berikut ini :
وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa´at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa´at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).
Surah Az-Zukhruf,43:86
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,
Surah Az-Zukhruf,43:87
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya : “…Mereka mengakui bahwa satu-satunya Pencipta segala sesuatu adalah Allah yang tidak ada sekutu bersamanya (dalam menciptakan itu). Bersamaan dengan keyakinan itu mereka menyembah juga selain Allah yang tidak memiliki kemampuan dan kekuasaan sedikitpun “
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
”Katakanlah : ”Siapakah Yang Memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, dan siapakah Yang Menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan kehidupan dari kematian, dan siapakah yang mengeluarkan kematian dari kehidupan, dan siapakah yang mengatur urusan- urusan(seluruhnya ) ? Mereka (orang-orang musyrik itu) pasti akan mengatakan : Allah ! ”(Q.S Yunus : 31)
Namun, keyakinan tersebut tidak menghantarkan orang-orang musyrik tersebut untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, satu-satunya tujuan ibadah dengan ketundukan, pengagungan, dan perasaan cinta. Kaum musyrikin beribadah kepada Allah, berdoa kepadaNya, melakukan tawaf di baitullah, menyembelih sesembelihan kurban untuk Allah, namun mereka tidak menjadikan ibadah itu semua hanya untuk Allah semata. Mereka membagi tujuan ibadah mereka untuk Allah dan untuk selain Allah. Mereka mempersembahkan kurban berupa hasil pertanian ataupun ternak untuk Allah dan juga untuk selain Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam firmanNya :
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا ۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَائِهِمْ ۗ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Dan mereka (kaum musyrikin) menjadikan untuk Allah bagian dari apa-apa yang Allah ciptakan berupa bijian-bijian (tanaman) dan hewan ternak. Mereka berkata : “ Ini untuk Allah (dengan persangkaan mereka), dan ini untuk sekutu-sekutu kita. Maka apa yang mereka tujukan untuk sekutu-sekutu mereka tidak sampai kepada Allah, sedangkan yang diberikan bagiannya untuk Allah sampai kepada sekutu-sekutu mereka itu. Sangat buruk sekali apa yang mereka putuskan”(Q.S AlAnaam 136).
Mereka juga berdoa kepada Allah, tetapi dengan perantaraan (wasilah) berhala-berhala dan patung- patung yang mereka yakini mampu memberikan syafaat di sisi Allah.
Mereka meyakini bahwa berdoa lewat berhala-berhala tersebut akan lebih mendekatkan diri mereka kepada Allah. Mereka sebenarnya tidak menjadikan berhala tersebut sebagai satu-satunya tujuan berdoa, tujuan utama mereka adalah Allah, namun mereka jadikan berhala tersebut sebagai wasilah (perantara). Hal ini sesuai dengan yang Allah firmankan dalam ayat-ayatNya :
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“ Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali-wali (penolong), (mereka mengatakan) : ‘kami tidaklah menyembah mereka kecuali supaya mendekatkan diri kami kepada Allah’ (Q.S AzZumar : 3)
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“ Dan mereka menyembah selain Allah apa-apa yang tidak mampu memudharatkan ataupun memberi manfaat, dan mereka berkata : ‘ Ini adalah pemberi-pemberi syafaat kami di sisi Allah’ “ (Q.S Yunus : 18).
Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala sama sekali tidak ridla jika seorang hamba berdoa kepadaNya dengan menyertakan suatu apapun dalam doanya tersebut. Allah sama sekali tidak ridla jika disekutukan dalam doa seorang hamba :
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah (hanya) milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada Allah (dengan menyertakan) suatu apapun bersamaNya “ (Q.S AlJin : 18)
Dijelaskan oleh para ‘Ulama bahwa dalam ayat ini Allah menggunakan kata : احد (suatu apapun) yang merupakan isim nakirah yang terletak dalam konteks peniadaan, sehingga berarti umum mencakup segala sesuatu selain Allah.
Sehingga, Allah Subhaanahu Wa Taala sama sekali tidak ridla jika disekutukan dalam doa seorang hamba. Apapun dan siapapun yang dijadikan sekutu tersebut.
Baik berupa Nabi /para Rasul, Malaikat, orang – orang sholih, matahari, bulan, bintang , batu, pohon, patung, ataupun yang lainnya. Kita tidak boleh berdoa , misalkan : ” Wahai Malaikat Jibril, dengan kedekatanmu kepada Allah, Yang Ia telah menjadikanmu sebagai Malaikat termulya, sampaikanlah permohonan kami kepada Allah, hilangkanlah kesusahan kami, berikanlah kami rizki”.
Kalimat ini merupakan satu contoh kesyirikan dan menyelisihi kalimat لا اله الا الله Seluruh ibadah hanyalah diperuntukkan Allah semata, tidak dibagi dengan selainNya, tidaklah Ia disekutukan dengan suatu apapun dalam ibadah apapun, dan doa adalah termasuk salah satu ibadah. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits :
Dari Sahabat an-Nu’maan bin Basyiir beliau berkata : ‘ Saya mendengar Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ” Doa adalah ibadah “. Kemudian beliau membaca ayat (Q.S Ghaafir /al -Mu ‘min : 6O) (yang artinya) : ” Dan Tuhan kalian telah berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan. Sesungguhnya orang- orang yang sombong (tidak mau) beribadah kepadaKu, akan Aku masukkan ke dalam Jahannam dalam keadaan hina “(H.R Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, AtTirmidzi,dan beliau menyatakan bahwa hadits ini hasan shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albaany)
Kaum musyrikin – yang Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam diutus kepada mereka – sangat memahami makna kalimat : َ لا اله الا الله Mereka sadar dan tahu betul bahwa kalau mereka mengucapkannya, mereka harus melaksanakan konsekuensinya.
Mereka harus berdoa hanya kepada Allah semata, menyembelih sesembelihan kurban hanya untuk Allah semata, bertawakkal hanya kepada Allah semata, dan seluruh ibadah hanya dipersembahkan kepada Allah saja, tanpa dibagi dengan selain Allah.
Karena itu, ketika Rasulullah mengajak mereka untuk mengucapkan kalimat tauhid tersebut, mereka menolak meninggalkan tradisi kesyirikan yang sudah turun temurun tersebut. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala mengisahkan keadaan mereka :
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ
Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.
Surah Sad (38:4)
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.
Surah Sad (38:5)
Mereka takjub dengan ajaran tauhid yang seakan-akan baru, karena sudah demikian mengakarnya kesyirikan yang sudah ditradisikan itu. Sudah merupakan tradisi dan kebiasaan sebelumnya untuk menyembah Allah, namun juga bersamaan dengan penyembahan kepada berhala-berhala, supaya lebih bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah.
Sehingga, ketika datang ajaran dari Allah melalui lisan NabiNya untuk hanya beribadah kepada Allah semata, mengembalikan mereka pada ajaran yang sudah disampaikan sebelumnya, mereka oleh Rasul-rasul menolak untuk meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (perkataan Sahabat Nabi – Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat dalam surat Nuh) bahwa kesyirikan tersebut awal mulanya adalah yang terjadi pada kaum Nuh, yang mereka menjadikan orang-orang sholih yang sudah meninggal dalam wujud patung.
Awalnya hanya untuk dikenang, namun kemudian setelah pergantian generasi patung-patung itu kemudian juga disembah, dan dijadikan sarana dalam doa mereka. Mereka merasa telah meminta kepada ruh orang-orang sholih tersebut untuk diteruskan doanya kepada Allah. Kesyirikan ini terus ditradisikan turun-temurun. Allah mengutus Rasu-rasulNya untuk berdakwah kepada manusia agar kembali hanya beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala semata. Seluruh dakwah para Rasul intinya dan tujuan utamanya adalah tauhid : Laa Ilaaha illallaah, walaupun masing-masing obyek dakwah berbeda-beda.
Kaum Nabi Luth banyak melakukan kemaksiatan dalam bentuk perbuatan liwath (homoseksual), kaum Nabi Syu’aib banyak yang melakukan kecurangan dengan mengurangi timbangan ketika berdagang. Namun, pada setiap kaum dan setiap manusia misi dakwah para Rasul yang diemban dari Allah adalah tetap sama, bahwa yang pertama dan utama adalah tauhid, menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
Dan sungguh telah Kami utus pada setiap umat Rasul untuk (mengajak mereka ) menyembah Allah (semata) dan menjauhi thaghut. Di antara mereka ada yang Allah beri petunjuk, dan di antara mereka ada yang Allah tetapkan padanya kesesatan. Maka berjalanlah kalian di muka bumi, dan lihatlah bagaimana akibat bagi orang –orang yang mendustakan “. Jika kita ingin memurnikan kalimat tauhid dan menjalankan konsekuensinya,
maka kita harus beribadah kepada Allah semata. Kita persembahkan tawakkal, khauf dan khosyah (takut yang bernilai ibadah), nadzar, doa, sesembelihan kurban, inabah, taubat, khusyu’, pengharapan, ‘istiaanah (permintaan tolong), permohonan perlindungan, dan seluruh ibadah yang dituntunkan Rasul, baik yang berupa ucapan, perbuatan, ataupun amalan hati, semuanya harus dipersembahkan untuk Allah semata, dan tidak boleh dipalingkan atau disekutukan dengan makhluk-Nya. Hanya dengan tauhidlah kejayaan umat dalam lingkup individu maupun masyarakat dan bangsa akan tercapai.
Hanya dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah dan meninggalkan segala bentuk kesyirikanlah umat akan mendapatkan kejayaan serta keberkahan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat. Sebagai sebuah individu, kemurnian kalimat tauhid : Laa ilaaha illallaah inilah yang menentukan apakah ia bisa mereguk kenikmatan hakiki di al-Jannah ataukan justru ia terjerumus pada an-Naar. Standar utama dan pertama yang menentukan adalah tauhid, bukan amal ibadah yang lain. Dalam hadits disebutkan :
Barangsiapa yang bertemu dengan Allah (pada hari akhir) tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun, maka ia masuk alJannah (surga), barangsiapa yang mensekutukanNya maka ia masuk an-Naar (neraka) “(H.R Muslim).
Benar, bukanlah amal ibadah lain apapun yang menjadi penentu pertama kali. Semuanya ditentukan dengan tauhid.
Apakah dia mentauhidkan Allah ataukah mensekutukanNya. Itu dulu yang pertama. Jika dia mentauhidkan Allah, barulah yang pertama kali dilihat adalah sholatnya, kemudian baru amal-amal yang lain. Jika seseorang mensekutukan Allah (berbuat syirik), maka bisa jadi amalnya secara keseluruhan akan terhapus. Seluruh amal ibadah yang dia upayakan dengan susah payah pada awalnya, jika kemudian dia berbuat syirik, bisa mengakibatkan terhapus secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala kepada Rasul-Nya yang mulya :
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“ Dan sungguh telah Aku wahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu (bahwa) :jika seandainya engkau berbuat syirik, niscaya akan terhapus amalanmu dan engkau akan
termasuk orang yang merugi “(Q.S AzZumar : 65).
Seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan membawa dosa besar selain syirik, tanpa sempat melakukan taubat dari perbuatan dosa besarnya itu, masih bisa diharapkan ia mendapatkan ampunan Allah.
Namun, jika seseorang meninggal dunia dengan membawa dosa syirik tanpa sempat bertaubat darinya, maka Allah tidaklah mengampuni dosa syirik tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa ta’ala tidaklah mengampuni dosa syirik, dan Ia (masih) mengampuni dosa-dosa di bawahnya bagi siapa-siapa yang dikehendakiNya “ (Q.S AnNisa’: 48).
Dijelaskan oleh para ‘Ulama bahwa dosa syirik terbagi menjadi dua, yaitu syirik akbar yang bisa mengeluarkan seseorang dari ke-Islamannya, dan syirik asghar yaitu syirik kecil, yang belum mengeluarkan seseorang dari ke-Islamannya, seperti riya’ ( beribadah dalam rangka supaya dilihat orang lain) dan bersumpah atas nama selain Allah (tanpa terbesit dalam hatinya bahwa makhluk yang disebutkan dalam sumpahnya tersebut lebih agung dan lebih besar dari Allah). Namun, maskipun termasuk syirik kecil, dosanya masih lebih besar dibandingkan dengan dosa besar lain selain syirik, dan dikhawatirkan tidak terampuni oleh Allah jika tidak sempat bertaubat darinya.
Kejayaan bagi kaum muslimin di dunia ini juga bisa diraih dengan tauhid. Dengan tauhidlah kaum muslimin akan mendapatkan kemulyaan (izzah) , ditakuti oleh musuh-musuhnya, mendapatkan keamanan, ketentraman, dan kesejahteraan hakiki di kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman di antara kalian dan beramal sholih, sungguh – sungguh dan pasti Allah akan menjadikan mereka pemimpin di muka bumi sebagaimana telah menjadi pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh-sungguh Allah akan mengokohkan agama mereka yang Allah ridlai, dan sungguh Allah akan menggantikan perasaan takut mereka dengan perasaan aman, (dengan syarat) : mereka menyembah kepadaKu, dan tidak
mensekutukan Aku dengan suatu apapun “(Q.S AnNuur :55)
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“ orang-orang yang beriman dan yang tidak mencampurkan keimanannya dengan kesyirikan, maka mereka adalah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka akan mendapatkan petunjuk “(Q.S Al-An’aam :82).
Demikianlah … kejayaan yang kita idam-idamkan ingin kembali kita raih hanya bisa tercapai jika kita bisa memurnikan ketauhidan kita kepada Allah, dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Sehingga, janganlah heran ketika saat ini kaum muslimin terpuruk justru disebabkan oleh ulah mereka sendiri. Ketika kesyirikan di seluruh penjuru wilayah kaum muslimin demikian merebak, dibenarkan, dan malah didukung, sebaliknya justru upaya pemurnian ketauhidan dan pelarangan dari kesyrikan dihalang-halangi dan dicela, sungguh kita telah menghambat upaya tercapainya kejayaan hakiki tersebut. Kita justru semakin memupuk ketertinggalan dan keterpurukan kita, semakin menjadikan perasaan takut musuh-musuh Islam tercerabut dari dadanya, semakin memporak porandakan persatuan kaum muslimin. Hanya dengan tauhidlah kita bisa bersatu, dan justru dengan kesyirikanlah kita tercerai berai, berkelompok-kelompok, terkotak-kotak pada setiap ‘sesembahan’-sesembahan lain yang diagungkan.
Keinginan mencapai masyarakat madani hanya akan berupa mimpi semata jika kesyirikan-kesyirikan masih mewarnai kehidupan masyarakat kita. Ketika masih demikian marak penggunaan jimat-jimat yang dianggap lazim dan dibenarkan, ketika masih demikian banyak sesajian-sesajian dilarung dan dipersembahkan untuk selain Allah, ketika doa-doa tidak hanya ditujukan bagi Allah semata, ketika kepercayaan-kepercayaan kesialan diikatkan pada tempat, waktu, dan situasi tertentu yang tidak pernah berdasar pada landasan syar’i, ketika dukun-dukun yang mengaku bisa melihat hal-hal yang ghaib masih demikian digandrungi dan dipercaya ucapannya, ketika pujian-pujian terhadap Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam sudah demikian melampaui batas sampai mengangkat beliau pada taraf Ilaahiyyah, dan ketika bermacam-macam kesyirikan yang lain demikian tumbuh subur di negeri kita, dan kitapun turut andil ‘menyuburkannya’, masihkah kita dengan optimis dan yakin mengaku sebagai kaum mukminin yang berhak mendapatkan pertolonganNya ? Allah sekali-kali tidak akan menyelisihi janjiNya untuk menolong orang-orang yang beriman, sehingga jika pertolongan itu tidak kunjung kita rasakan, maka kitalah yang seharusnya bertanya pada diri kita apakah kita telah layak dan benar-benar menjadi orang beriman?
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan wajib bagi Kami untuk menolong orang-orang yang beriman“ (Q.S Ar-Ruum : 47)
Dakwah pada tauhid adalah dakwah yang harus mendapat prioritas utama sebelum dakwah tentang hal-hal yang lain karena itulah inti dakwah para Rasul yang diutus Allah, dan demikianlah Rasulullah memerintahkan setiap juru dakwah untuk memulainya, sebagaiman ketika Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke Yaman, beliau menyatakan :
“ Maka jadikanlah pertama kali yang engkau dakwahkan adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta’ala, jika mereka mengetahuinya, maka kabarkan (kemudian) pada mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka sholat 5 waktu sehari semalam. Jika mereka telah (melakukan) sholat, kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka zakat maal yang diambil dari orang kaya untuk diberikan pada fakir miskin di antara mereka “ (H.R AlBukhari-Muslim).
Hadits Nabi di atas menunjukkan bahwa dakwah yang pertama dan utama untuk disampaikan adalah tauhid dan menjauhi kesyirikan, barulah setelah itu ibadah yang lain. Tidaklah benar kita memulai materi dakwah dari hal-hal yang lain dengan menunda permasalahan tauhid. Banyak yang mulai dakwah dari sholat, dengan menunda atau bahkan tidak memperhatikan masalah tauhid.
Ada pula yang demikian mementingkan masalah akhlaq, namun sama sekali tidak pernah menyentuh esensi / kebutuhan mendasar umat yaitu tentang tauhid. Ada pula yang sangat getol memprioritaskan masalah persatuan umat, dengan menafikan segala perbedaan yang ada, dan meninggalkan dakwah tauhid dengan alasan justru akan memecah belah umat. Ketahuilah, jika mereka memaksakan persatuan yang tidak di atas landasan tauhid, sesungguhnya mereka hanya akan membangun persatuan semu, dan mereka hanya akan menunda terjadinya perpecahan yang jauh lebih dahsyat.
Engkau mengira mereka bersatu, padahal hati mereka bercerai berai”(Q.S Al-Hasyr : 14).
Tidaklah bisa kita menyatukan hati kaum muslimin, kecuali dengan kaidah-kaidah dan cara menyatukan hati yang diajarkan Allah kepada RasulNya, yang kemudian beliau terapkan pada para sahabatnya, sehingga kemudian Allah satukan hati mereka, bersatulah kaum ‘Aus dan Khazraj yang telah puluhan tahun terlibat pertempuran dengan kebencian kesukuan yang diwariskan turun temurun, dan diprediksikan oleh banyak pihak tidak akan mungkin bersatu selamanya :
Dan Allahlah yang menyatukan hati mereka. Kalau seandainya engkau menginfaqkan segala sesuatu yang ada di bumi untuk menyatukan mereka, tidak akan bisa engkau menyatukan hati mereka, hanya Allahlah saja yang bisa menyatukan hati mereka. Sesungguhnya Ia adalah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(Q.S Al-Anfaal : 63).
Allah menyatukan hati mereka dengan tauhid, mereka bersaudara dalam kesamaan menyembah hanya semata-mata kepada Allah saja dan hanya mengikuti syariat yang disampaikan dari satu manusia yaitu Rasulullah Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagian kaum muslimin yang lain demikian memprioritaskan tercapainya daulah Islamiyyah dengan menunda masalah tauhid dan tidak menjadikannya sebagai tujuan utama –itupun kalau mereka pedulikan-. Ketahuilah, bahwa tidak akan tercapai daulah Islamiyyah yang mereka idam-idamkan kecuali dengan dakwah tauhid yang Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam membangun fondasi aqidah para Sahabat selama 13 tahun dalam periode Mekkah.
================
Sumber/maraji’ :
MEMAHAMI MAKNA BACAAN SHOLAT Sebuah Upaya Menikmati Indahnya Dialog Suci dengan Ilahi
Abu Utsman Kharisman
Penerbit Pustaka Hudaya
Bab: makna bacaan tasyahud