Makna terdalam kalimat Tauhid

Makna terdalam kalimat Tauhid

Dalam  bacaan  lafadz  ini  juga  terdapat persaksian yang agung yaitu kalimat tauhid :  لا اله الا الله  dan  persaksian  bahwa  Nabi Muhammad  adalah  hamba  Allah  dan utusanNya.  Kalimat  persaksian  ini  (syahadat)   adalah  rukun  pertama  dan  utama  dalam  Islam yang  seseorang  tidak  bisa  disebut  sebagai Muslim  jika  ia  tidak  mengucapkan  dan melaksanakan  konsekuensi  ucapan  tersebut.

 Karena  demikian  pentingnya  makna  syahadat ini, maka  penulis  merasa  perlu  untuk menjabarkannya  sesuai  dengan  penjelasan para ‘Ulama’. Kalimat : لا اله الا الله sering diterjemahkan  sebagai  :  “  Tidak  ada  Tuhan selain  Allah  ”.  
Hal  ini  perlu  diluruskan  agar tidak  menimbulkan  kerancuan  pemahaman bagi kaum muslimin. Sesungguhnya terjemahan  yang  lebih  tepat  adalah  :  

“  Tidak ada  sesembahan  yang  haq  kecuali  Allah  “, sebagaimana penjelasan semacam  ini didapatkan  dalam  kitab-kitab  tafsir  yang merujuk  pada  penjelasan  para  Sahabat  Nabi seperti Ibnu Abbas dan yang lainnya.
  Orang-orang  musyrikin  Quraisy  yang dihadapi  oleh  Rasulullah  Shollallaahu  ‘alaihi wasallam pun   meyakini  bahwa  Tuhan  satu-satunya adalah  Allah. 
 Mereka  meyakini  seyakin-yakinnya bahwa Allahlah satu-satunya Pencipta,    satu-satunya  yang  Menghidupkan dan Mematikan mereka, satu-satunya Penguasa  dan  Pengatur  Alam  semesta,  satusatunya  Yang  Mampu  Memberikan  rezeki  atau menghalangi  tersampaikannya  rezeki  bagi mereka.  Hal  ini  sesuai  dengan  firman  –firman Allah berikut ini : 

وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa´at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa´at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).
Surah Az-Zukhruf,43:86
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,
Surah Az-Zukhruf,43:87
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya : “…Mereka mengakui bahwa satu-satunya Pencipta segala sesuatu adalah Allah yang tidak ada sekutu bersamanya (dalam menciptakan itu). Bersamaan dengan keyakinan itu mereka menyembah juga selain Allah yang tidak memiliki kemampuan dan  kekuasaan sedikitpun “ 
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
”Katakanlah : ”Siapakah Yang Memberikan rezeki kepada  kalian dari langit dan bumi, dan siapakah Yang Menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan kehidupan dari kematian, dan siapakah yang mengeluarkan kematian dari kehidupan, dan siapakah yang mengatur urusan- urusan(seluruhnya ) ? Mereka (orang-orang musyrik itu) pasti akan mengatakan : Allah ! ”(Q.S Yunus : 31) 
Namun,  keyakinan  tersebut  tidak menghantarkan  orang-orang  musyrik  tersebut untuk  menjadikan  Allah  sebagai  satu-satunya sesembahan,  satu-satunya  tujuan  ibadah dengan  ketundukan,  pengagungan,  dan perasaan  cinta.  Kaum  musyrikin  beribadah kepada  Allah,  berdoa  kepadaNya,  melakukan tawaf  di  baitullah,  menyembelih  sesembelihan kurban  untuk  Allah,  namun  mereka  tidak menjadikan  ibadah  itu  semua  hanya  untuk Allah  semata.  Mereka  membagi  tujuan  ibadah mereka untuk Allah dan untuk selain Allah.  Mereka  mempersembahkan  kurban berupa  hasil  pertanian  ataupun  ternak  untuk Allah  dan  juga  untuk  selain  Allah.  Hal  ini sebagaimana  disebutkan  Allah  Subhaanahu  wa Ta’ala dalam firmanNya : 
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا ۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَائِهِمْ ۗ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

Dan  mereka  (kaum  musyrikin)  menjadikan untuk  Allah  bagian  dari  apa-apa  yang  Allah ciptakan  berupa  bijian-bijian  (tanaman)  dan hewan  ternak.  Mereka  berkata  :  “  Ini  untuk Allah  (dengan  persangkaan  mereka),  dan  ini untuk  sekutu-sekutu  kita.  Maka  apa  yang mereka  tujukan  untuk  sekutu-sekutu  mereka tidak  sampai  kepada  Allah,  sedangkan  yang diberikan  bagiannya  untuk  Allah  sampai kepada sekutu-sekutu mereka itu. Sangat buruk sekali apa yang mereka putuskan”(Q.S AlAnaam 136).
 Mereka juga berdoa kepada Allah, tetapi dengan perantaraan (wasilah)  berhala-berhala dan patung- patung yang mereka yakini mampu memberikan syafaat di sisi Allah. 

Mereka meyakini bahwa berdoa lewat berhala-berhala tersebut akan lebih mendekatkan diri mereka kepada Allah. Mereka sebenarnya tidak menjadikan berhala tersebut sebagai satu-satunya tujuan berdoa, tujuan utama mereka adalah Allah, namun mereka jadikan berhala tersebut sebagai wasilah (perantara). Hal ini sesuai dengan yang Allah firmankan dalam ayat-ayatNya : 
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“ Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali-wali (penolong), (mereka mengatakan) : ‘kami tidaklah menyembah mereka kecuali supaya mendekatkan diri kami kepada Allah’ (Q.S AzZumar : 3)   
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
 “ Dan mereka menyembah selain Allah apa-apa yang tidak mampu  memudharatkan ataupun memberi  manfaat,  dan  mereka  berkata  :  ‘  Ini adalah  pemberi-pemberi  syafaat  kami  di  sisi Allah’  “  (Q.S  Yunus  :  18).
 Padahal  Allah  Subhaanahu  Wa  Ta’ala  sama sekali  tidak  ridla  jika  seorang  hamba  berdoa kepadaNya  dengan  menyertakan  suatu  apapun dalam  doanya  tersebut.  Allah  sama  sekali  tidak ridla  jika  disekutukan  dalam  doa  seorang hamba : 

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan  sesungguhnya  masjid-masjid  itu  adalah (hanya)  milik  Allah,  maka  janganlah  kalian berdoa  kepada  Allah  (dengan  menyertakan) suatu  apapun  bersamaNya  “ (Q.S  AlJin  :  18)
 Dijelaskan  oleh  para  ‘Ulama  bahwa  dalam  ayat ini  Allah  menggunakan  kata  :  احد  (suatu apapun)  yang  merupakan  isim  nakirah  yang terletak  dalam  konteks  peniadaan,  sehingga berarti  umum  mencakup  segala  sesuatu  selain Allah. 
 Sehingga,  Allah  Subhaanahu  Wa  Taala sama  sekali  tidak  ridla  jika  disekutukan  dalam doa  seorang  hamba.  Apapun  dan  siapapun yang  dijadikan  sekutu  tersebut.  

Baik  berupa Nabi  /para  Rasul,  Malaikat,  orang  –  orang sholih,  matahari,  bulan,  bintang  ,  batu,  pohon, patung,  ataupun  yang  lainnya.  Kita  tidak  boleh berdoa  ,  misalkan  :  ”  Wahai  Malaikat  Jibril, dengan  kedekatanmu  kepada  Allah,  Yang  Ia telah menjadikanmu sebagai Malaikat termulya,  sampaikanlah  permohonan  kami kepada  Allah,  hilangkanlah  kesusahan  kami, berikanlah  kami  rizki”. 

 Kalimat  ini  merupakan satu contoh kesyirikan dan menyelisihi kalimat  لا اله الا الله  Seluruh  ibadah  hanyalah diperuntukkan  Allah  semata,  tidak  dibagi dengan  selainNya,  tidaklah  Ia  disekutukan dengan  suatu  apapun  dalam  ibadah  apapun, dan  doa  adalah  termasuk  salah  satu  ibadah. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits :  
Dari  Sahabat  an-Nu’maan  bin  Basyiir  beliau berkata  :  ‘  Saya  mendengar  Nabi  Shollallaahu ‘alaihi  wasallam  bersabda  :  ”  Doa  adalah ibadah  “.  Kemudian  beliau  membaca  ayat  (Q.S Ghaafir  /al  -Mu  ‘min  :  6O)  (yang  artinya)  :  ”  Dan Tuhan  kalian  telah  berkata  :  Berdoalah kepadaKu  niscaya  akan  Aku  kabulkan. Sesungguhnya  orang-  orang  yang  sombong (tidak  mau)  beribadah  kepadaKu,  akan  Aku masukkan  ke  dalam  Jahannam  dalam  keadaan hina  “(H.R  Ahmad,  Ibnu  Majah,  Abu  Dawud, AtTirmidzi,dan  beliau  menyatakan  bahwa hadits  ini  hasan  shohih,  dishohihkan  oleh Syaikh Al-Albaany) 
Kaum  musyrikin  –  yang  Rasulullah Shollallaahu  ‘alaihi  wasallam  diutus  kepada mereka – sangat memahami makna kalimat :  َ لا اله الا الله Mereka  sadar  dan  tahu  betul  bahwa kalau  mereka  mengucapkannya,  mereka  harus melaksanakan  konsekuensinya. 
 Mereka  harus berdoa hanya  kepada  Allah  semata, menyembelih  sesembelihan  kurban  hanya untuk  Allah  semata,  bertawakkal  hanya kepada  Allah  semata,  dan  seluruh  ibadah hanya  dipersembahkan  kepada  Allah  saja, tanpa  dibagi  dengan  selain  Allah. 
 Karena  itu, ketika  Rasulullah  mengajak  mereka  untuk   mengucapkan  kalimat  tauhid  tersebut,  mereka menolak  meninggalkan  tradisi  kesyirikan  yang sudah  turun  temurun  tersebut.  Allah Subhaanahu  Wa  Ta’ala  mengisahkan  keadaan mereka : 
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ
Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.

Surah Sad (38:4)

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.

Surah Sad (38:5)

 Mereka  takjub  dengan  ajaran  tauhid yang  seakan-akan  baru,  karena  sudah demikian  mengakarnya  kesyirikan  yang  sudah ditradisikan  itu.  Sudah  merupakan  tradisi  dan kebiasaan  sebelumnya  untuk  menyembah Allah, namun  juga  bersamaan  dengan penyembahan  kepada  berhala-berhala,  supaya lebih  bisa  mendekatkan  diri  mereka  kepada Allah.
  Sehingga,  ketika  datang  ajaran  dari Allah  melalui  lisan  NabiNya  untuk  hanya beribadah kepada Allah semata, mengembalikan  mereka  pada  ajaran  yang sudah disampaikan sebelumnya, mereka oleh Rasul-rasul menolak untuk meninggalkan  sesembahan-sesembahan  selain Allah.
 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya  (perkataan  Sahabat  Nabi  –  Ibnu Abbas  dalam  menafsirkan  ayat  dalam  surat Nuh)  bahwa  kesyirikan  tersebut  awal  mulanya adalah  yang  terjadi  pada  kaum  Nuh,  yang mereka  menjadikan  orang-orang  sholih  yang sudah  meninggal  dalam  wujud  patung.
 Awalnya  hanya  untuk  dikenang,  namun kemudian  setelah  pergantian  generasi  patung-patung  itu  kemudian  juga  disembah,  dan dijadikan  sarana  dalam  doa  mereka.  Mereka merasa  telah  meminta  kepada  ruh  orang-orang sholih  tersebut  untuk  diteruskan  doanya kepada  Allah.  Kesyirikan  ini  terus  ditradisikan turun-temurun.  Allah  mengutus  Rasu-rasulNya  untuk berdakwah  kepada  manusia  agar  kembali hanya  beribadah  kepada  Allah  Subhaanahu Wa  Ta’ala  semata.  Seluruh  dakwah  para  Rasul intinya  dan  tujuan  utamanya  adalah  tauhid  : Laa  Ilaaha  illallaah,  walaupun  masing-masing obyek  dakwah  berbeda-beda.
  Kaum  Nabi  Luth banyak  melakukan  kemaksiatan  dalam  bentuk perbuatan  liwath  (homoseksual),  kaum  Nabi Syu’aib  banyak  yang  melakukan  kecurangan dengan mengurangi timbangan ketika berdagang.  Namun,  pada  setiap  kaum  dan setiap  manusia  misi  dakwah  para  Rasul  yang diemban  dari  Allah  adalah  tetap  sama,  bahwa yang  pertama  dan  utama  adalah  tauhid, menjadikan  Allah  sebagai  satu-satunya sesembahan.  Allah  Subhaanahu  Wa  Ta’ala berfirman : 
Dan  sungguh  telah  Kami  utus  pada  setiap umat  Rasul  untuk  (mengajak  mereka  ) menyembah  Allah  (semata)  dan  menjauhi thaghut.  Di  antara  mereka  ada  yang  Allah  beri petunjuk,  dan  di  antara  mereka  ada  yang  Allah tetapkan  padanya  kesesatan.  Maka  berjalanlah kalian  di  muka  bumi,  dan  lihatlah  bagaimana akibat bagi orang –orang yang mendustakan “. Jika  kita  ingin  memurnikan  kalimat tauhid  dan  menjalankan  konsekuensinya, 
maka  kita  harus  beribadah  kepada  Allah semata.  Kita  persembahkan  tawakkal,  khauf dan  khosyah  (takut  yang  bernilai  ibadah), nadzar,  doa,  sesembelihan  kurban,  inabah, taubat,  khusyu’,  pengharapan,  ‘istiaanah (permintaan tolong), permohonan perlindungan,  dan  seluruh  ibadah  yang dituntunkan  Rasul,  baik  yang  berupa  ucapan, perbuatan,  ataupun  amalan  hati,  semuanya harus  dipersembahkan  untuk  Allah  semata, dan  tidak  boleh  dipalingkan  atau  disekutukan dengan makhluk-Nya. Hanya  dengan  tauhidlah  kejayaan  umat dalam  lingkup  individu  maupun  masyarakat dan  bangsa  akan  tercapai.  
Hanya  dengan menjadikan  Allah  sebagai  satu-satunya  tujuan ibadah  dan  meninggalkan  segala  bentuk kesyirikanlah umat  akan  mendapatkan kejayaan  serta  keberkahan  dalam  hidupnya  di dunia dan di akhirat. Sebagai  sebuah  individu,  kemurnian kalimat  tauhid  :  Laa  ilaaha  illallaah  inilah  yang menentukan  apakah  ia  bisa  mereguk kenikmatan  hakiki  di  al-Jannah  ataukan  justru ia  terjerumus  pada  an-Naar.  Standar  utama dan  pertama  yang  menentukan  adalah  tauhid, bukan  amal  ibadah  yang  lain.  Dalam  hadits disebutkan : 
Barangsiapa  yang  bertemu  dengan  Allah (pada  hari  akhir)  tidak  mensekutukanNya dengan  suatu  apapun,  maka  ia  masuk  alJannah (surga), barangsiapa yang mensekutukanNya  maka  ia  masuk  an-Naar (neraka) “(H.R Muslim).
 Benar,  bukanlah  amal  ibadah  lain apapun  yang  menjadi  penentu  pertama  kali. Semuanya  ditentukan  dengan  tauhid.  
Apakah dia mentauhidkan Allah ataukah mensekutukanNya.  Itu  dulu  yang  pertama. Jika  dia  mentauhidkan  Allah,  barulah  yang pertama  kali  dilihat  adalah  sholatnya, kemudian baru amal-amal yang lain.  Jika  seseorang  mensekutukan  Allah (berbuat  syirik),  maka  bisa  jadi  amalnya  secara keseluruhan  akan  terhapus.  Seluruh  amal ibadah  yang  dia  upayakan  dengan  susah payah  pada  awalnya,  jika  kemudian  dia berbuat  syirik,  bisa  mengakibatkan  terhapus secara  keseluruhan.  Hal  ini  sesuai  dengan firman  Allah  Subhaanahu  Wa  Ta’ala    kepada Rasul-Nya yang mulya : 
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“  Dan  sungguh  telah  Aku  wahyukan  kepadamu dan  kepada  orang-orang  sebelummu  (bahwa) :jika  seandainya  engkau  berbuat  syirik,  niscaya akan  terhapus  amalanmu  dan  engkau  akan

termasuk  orang  yang  merugi  “(Q.S  AzZumar  : 65).
Seseorang  yang  meninggal  dunia  dalam keadaan  membawa  dosa  besar  selain  syirik, tanpa  sempat  melakukan  taubat  dari perbuatan  dosa  besarnya  itu,  masih  bisa diharapkan  ia  mendapatkan  ampunan  Allah.
 Namun,  jika  seseorang  meninggal  dunia dengan  membawa  dosa  syirik  tanpa  sempat bertaubat  darinya,  maka  Allah  tidaklah mengampuni  dosa  syirik  tersebut.  Hal  ini sesuai  dengan  firman  Allah  Subhaanahu  Wa Ta’ala : 
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya  Allah  Subhaanahu  Wa  ta’ala tidaklah  mengampuni  dosa  syirik,  dan  Ia (masih)  mengampuni  dosa-dosa  di  bawahnya bagi  siapa-siapa  yang  dikehendakiNya  “  (Q.S AnNisa’: 48).
 Dijelaskan  oleh  para  ‘Ulama  bahwa   dosa  syirik  terbagi  menjadi  dua,  yaitu  syirik akbar  yang  bisa  mengeluarkan  seseorang  dari ke-Islamannya,  dan  syirik  asghar    yaitu  syirik kecil,  yang  belum  mengeluarkan  seseorang  dari ke-Islamannya,  seperti  riya’  (  beribadah  dalam rangka  supaya  dilihat  orang  lain)  dan bersumpah  atas  nama  selain  Allah  (tanpa terbesit  dalam  hatinya  bahwa  makhluk  yang disebutkan  dalam  sumpahnya  tersebut  lebih agung  dan  lebih  besar  dari  Allah).  Namun,  maskipun termasuk syirik kecil, dosanya masih lebih besar dibandingkan dengan dosa besar lain selain syirik, dan dikhawatirkan tidak terampuni oleh Allah jika tidak sempat bertaubat darinya.  
 Kejayaan bagi kaum muslimin di dunia ini juga bisa diraih dengan tauhid. Dengan tauhidlah kaum muslimin akan mendapatkan kemulyaan (izzah) , ditakuti oleh musuh-musuhnya, mendapatkan keamanan, ketentraman, dan kesejahteraan hakiki di kehidupan dunia  dan akhirat. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala : 

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman di antara kalian dan beramal sholih, sungguh – sungguh dan pasti Allah akan menjadikan mereka pemimpin di muka bumi sebagaimana telah menjadi pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh-sungguh Allah akan mengokohkan agama mereka yang Allah ridlai, dan sungguh Allah akan menggantikan perasaan takut mereka dengan perasaan aman, (dengan syarat) : mereka menyembah kepadaKu, dan tidak

mensekutukan  Aku  dengan  suatu  apapun “(Q.S AnNuur :55) 
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“  orang-orang  yang  beriman  dan  yang  tidak mencampurkan keimanannya dengan kesyirikan,  maka  mereka  adalah  yang  akan mendapatkan  keamanan  dan  mereka  akan mendapatkan petunjuk “(Q.S Al-An’aam :82).

Demikianlah  …  kejayaan  yang  kita idam-idamkan  ingin  kembali  kita  raih  hanya bisa  tercapai  jika  kita  bisa  memurnikan ketauhidan  kita  kepada  Allah,  dan  menjauhi segala  bentuk  kesyirikan.  Sehingga,  janganlah heran  ketika  saat  ini  kaum  muslimin  terpuruk justru disebabkan oleh ulah mereka sendiri. Ketika  kesyirikan  di  seluruh  penjuru wilayah  kaum  muslimin  demikian  merebak, dibenarkan,  dan  malah  didukung,    sebaliknya   justru  upaya  pemurnian  ketauhidan  dan pelarangan  dari  kesyrikan  dihalang-halangi dan  dicela,  sungguh  kita  telah  menghambat upaya  tercapainya  kejayaan  hakiki  tersebut. Kita  justru  semakin  memupuk  ketertinggalan dan  keterpurukan  kita,  semakin  menjadikan perasaan takut musuh-musuh Islam tercerabut  dari  dadanya,  semakin  memporak porandakan  persatuan  kaum  muslimin.  Hanya dengan  tauhidlah  kita  bisa  bersatu,  dan  justru dengan  kesyirikanlah  kita  tercerai  berai,   berkelompok-kelompok,  terkotak-kotak  pada setiap  ‘sesembahan’-sesembahan  lain  yang diagungkan. 
 Keinginan  mencapai  masyarakat  madani hanya  akan  berupa  mimpi  semata  jika kesyirikan-kesyirikan masih mewarnai kehidupan  masyarakat  kita.  Ketika  masih demikian  marak  penggunaan  jimat-jimat  yang dianggap  lazim  dan  dibenarkan,  ketika  masih demikian  banyak  sesajian-sesajian  dilarung dan  dipersembahkan  untuk  selain  Allah,  ketika doa-doa  tidak  hanya  ditujukan  bagi  Allah semata, ketika kepercayaan-kepercayaan kesialan  diikatkan  pada  tempat,  waktu,  dan situasi  tertentu  yang  tidak  pernah  berdasar pada  landasan  syar’i,  ketika  dukun-dukun yang  mengaku  bisa  melihat  hal-hal  yang  ghaib masih  demikian  digandrungi  dan  dipercaya ucapannya,  ketika  pujian-pujian  terhadap Rasulullah  Shollallaahu  ‘alaihi  wasallam  sudah demikian melampaui batas sampai mengangkat  beliau  pada  taraf  Ilaahiyyah,  dan ketika  bermacam-macam  kesyirikan  yang  lain demikian  tumbuh  subur  di  negeri  kita,  dan kitapun turut andil ‘menyuburkannya’, masihkah  kita  dengan  optimis  dan  yakin mengaku  sebagai  kaum  mukminin  yang berhak  mendapatkan  pertolonganNya  ?  Allah sekali-kali  tidak  akan  menyelisihi  janjiNya untuk  menolong  orang-orang  yang  beriman, sehingga  jika  pertolongan  itu  tidak  kunjung kita  rasakan,  maka  kitalah  yang  seharusnya bertanya pada diri kita apakah kita telah layak dan benar-benar menjadi orang beriman? 
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan wajib bagi Kami untuk menolong orang-orang yang beriman“ (Q.S Ar-Ruum : 47) 

Dakwah pada tauhid adalah dakwah yang harus mendapat prioritas utama sebelum dakwah tentang hal-hal yang lain karena itulah inti dakwah para Rasul yang diutus Allah, dan demikianlah Rasulullah memerintahkan setiap juru dakwah untuk memulainya, sebagaiman ketika Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke Yaman, beliau menyatakan : 
 “ Maka jadikanlah pertama kali yang engkau dakwahkan adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta’ala, jika mereka mengetahuinya, maka kabarkan (kemudian) pada mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka sholat 5 waktu sehari semalam. Jika mereka telah (melakukan) sholat, kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka zakat maal yang diambil dari orang kaya  untuk  diberikan  pada  fakir  miskin  di antara mereka “ (H.R AlBukhari-Muslim).
 Hadits  Nabi  di  atas  menunjukkan  bahwa dakwah  yang  pertama  dan  utama  untuk disampaikan  adalah  tauhid  dan  menjauhi kesyirikan,  barulah  setelah  itu  ibadah  yang lain.  Tidaklah  benar  kita  memulai  materi dakwah  dari  hal-hal  yang  lain  dengan menunda  permasalahan  tauhid.  Banyak  yang mulai  dakwah  dari  sholat,  dengan  menunda atau  bahkan  tidak  memperhatikan  masalah tauhid.
  Ada  pula  yang  demikian  mementingkan masalah  akhlaq,  namun  sama  sekali  tidak pernah  menyentuh  esensi  /  kebutuhan mendasar  umat  yaitu  tentang  tauhid.  Ada  pula yang  sangat  getol  memprioritaskan  masalah persatuan  umat,  dengan  menafikan  segala perbedaan  yang  ada,  dan  meninggalkan dakwah  tauhid  dengan  alasan  justru  akan memecah  belah  umat.  Ketahuilah,  jika  mereka memaksakan  persatuan  yang  tidak  di  atas landasan  tauhid,  sesungguhnya  mereka  hanya akan  membangun  persatuan  semu,  dan mereka  hanya  akan  menunda  terjadinya perpecahan  yang  jauh  lebih  dahsyat.   

Engkau  mengira  mereka  bersatu,  padahal  hati mereka  bercerai  berai”(Q.S  Al-Hasyr  :  14).
Tidaklah  bisa  kita  menyatukan  hati kaum  muslimin,  kecuali  dengan  kaidah-kaidah dan cara menyatukan hati yang diajarkan Allah kepada RasulNya, yang kemudian beliau terapkan pada para sahabatnya, sehingga kemudian Allah satukan hati mereka,  bersatulah kaum ‘Aus dan Khazraj yang telah puluhan tahun terlibat pertempuran dengan kebencian kesukuan yang diwariskan turun temurun, dan diprediksikan oleh banyak pihak tidak akan mungkin bersatu selamanya :  
Dan Allahlah yang menyatukan hati mereka. Kalau seandainya engkau menginfaqkan segala sesuatu yang ada di bumi untuk menyatukan mereka, tidak akan bisa engkau menyatukan hati mereka, hanya Allahlah saja yang bisa menyatukan hati mereka. Sesungguhnya Ia adalah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(Q.S Al-Anfaal : 63).
Allah menyatukan hati mereka dengan tauhid, mereka bersaudara dalam kesamaan menyembah hanya semata-mata kepada Allah saja dan hanya mengikuti syariat yang disampaikan dari satu manusia yaitu Rasulullah Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagian kaum muslimin yang lain demikian memprioritaskan tercapainya daulah Islamiyyah dengan menunda masalah tauhid dan tidak menjadikannya sebagai tujuan utama  –itupun  kalau  mereka  pedulikan-. Ketahuilah,  bahwa  tidak  akan  tercapai  daulah Islamiyyah  yang  mereka  idam-idamkan  kecuali dengan  dakwah  tauhid  yang  Rasulullah Shollallaahu  ‘alaihi  wasallam  membangun fondasi  aqidah  para  Sahabat  selama  13  tahun dalam  periode  Mekkah.   
================
Sumber/maraji’ :
MEMAHAMI MAKNA BACAAN  SHOLAT Sebuah  Upaya Menikmati Indahnya  Dialog Suci dengan Ilahi 
Abu Utsman Kharisman 
Penerbit Pustaka Hudaya 
Bab: makna bacaan tasyahud

Tinggalkan komentar